Minggu, 09 September 2012

Ikhwan yang bersih, ada ngga sih?



Ikhwan yang bersih dan rapi, ada nggak ya? Ah.....pastilah ada. Meskipun sampe saat ini aku belum menemukannya di sekitarku. Seperti kata pepatah, di antara gelapnya malam, ada bintang yang bergelayut di sana. Sepakat ora?
Terus terang, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa seorang ikhwan adalah orang yang yang senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian, baik itu kebersihan diri maupun rumah tempat tinggalnya. Seorang ikhwan, adalah ia yang memahami makna dari hadist, ”Allah itu indah dan menyukai keindahan”, ”Kebersihan sebahgian dari iman”. But, so far this time, sampe saat ini nih aku belum melihatnya.
Pendapat in terlontar karena dari beberapa kost/kontrakan yang di dalamnya berisi ikhwan kondisinya jauh dari kata bersih, kalo tidak bisa di sebut kumuh. Bukannya aku orang yang sok bersih, sok rapi de es be, lho. Suer. Hanya saja memang begitu keadaannya. Di kontrakan ikhwan yang aku lihat, kaca berdebu tebal sehingga bisa ditulisi nama penghuninya, sampah berupa kertas dan plastik berserak di mana-mana. Di pojok kamar bertumpuk pakaian kotor yang menunggu disentuh, belum lagi yang tergantung di gantungan baju, sehingga nyamuk-nyamuk sangat senang mampir untuk beristirahat di situ kalo kecapean terbang. Di jemuran bergelantungan baju yang beberapa hari tidak diangkat, kadang sampe kehujanan lagi. Ada yang merendam baju sehari semalam terkadang lebih dan tidak sempat dicuci-cuci, sehingga mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Di dapur, bisa dilihat tumpukan piring dan gelas kotor entah udah berapa minggu ’merana’, menunggu dimandikan.
Sekali lagi aku menulis ini bukan karena merasa paling bersih dan rapi, atau aku ingin menjelek-jelekkan ikhwan, karena aku pun ikhwan lho. Hanya aku ingin mengingatkan kembali dan menyadarkan kita semua (bukankah kewajiban kita untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, agar kita tidak merugi?) bahwa kita mesti mulai belajar menata semua hal dari yang sederhana. Karena dari hal yang kelihatannya sepele, bisa menimbulkan dampak yang besar. Kan akan teramat sangat disayangkan, ketika ada obyek dakwah yang sedang kita dekati, kemudian diajak main ke kontrakan dan menyaksikan keadaan yang seperti ’kapal pecah’. Ia yang semula simpati terhadap kita akhirnya berkurang kesimpatiannya setelah melihat itu semua. Timbul persepsi bahwa kita hanya NATO (not action talk only).
Aku ngga tau, apakah ini terjadi di kalangan ikhwan saja atau akhwat juga sama. But, kalo aku baca di majalah Karima beberapa tahun lalu, kayaknya permasalahan ini juga ada di akhwat, meski mungkin nggak separah di ikhwan. Cerita berjudul “Parade Kaos Kaki” itu bercerita tentang keadaan yang terjadi di kontrakan para akhwat, di mana setiap saat ada pemandangan yang kurang sedap dilihat. Bertumpuk kaos kaki di pojok ruangan, karena sang empunya seolah tidak pernah mempedulikannya. Mungkin karena akhwat itu punya banyak kaos kaki, sehingga setiap habis memakai langsung aja dilemparkan begitu saja, dan berganti dengan yang lain. Untungnya masih ada satu akhwat yang rela untuk mencucikannya. Tapi karena terlalu sering, ia takut mengurangi keikhlasannya, sehingga dalam kultum subuh ia menyinggung tentang hal ini. Dan untuk beberapa hari berikutnya keadaan menjadi lebih baik. Tidak ada lagi kaos kaki yang teronggok di pojok ruangan. Sampe pada suatu ketika ada rapat di ruangan tersebut dengan beberapa ikhwan, seorang ikhwan menegur, karena ternyata ada lagi setumpuk kaos kaki di sana.
Ada lagi cerita dari temanku yang berkunjung ke tempat kos adiknya yang akhwat di Banjarmasin. Ia melihat kondisi yang mirip dengan kost-kostan ikhwan. Berantakan. Temanku berkata “kamar akhwat kok kayak gini....” Adiknya berkata ”Eh...ini masih mendingan. Ini udah yang paling bersih daripada kamar yang lain ...”J
Adik temanku yang kebetulan berkunjung ke Jogja dititipkan ke kontrakan akhwat. Ketika ditanyakan bagaimana keadaan di sana (gak tau bermaksud investigasi atau apa), dijawab sama adiknya kalau kondisinya berantakan. Banyak pakaian yang menumpuk, belum diseterika.
Jadi, kalo dilihat dari cerita-cerita tersebut kayaknya hal ini sudah ada dimana-mana. (cerita parade kaos kaki di atas berlatar belakang di Kota Semarang). Di Jogja, Semarang, Banjarmasin, dan mungkin terjadi juga di kota lain. Atau mungkin karena satu fikrah ya, sehingga dalam permasalahan kebersihan dan kerapian pun sama masalahnya J
Aku yakin, teman-teman telah berusaha untuk melakukan perubahan, mulai dari membuat jadwal piket sampai membuat tulisan yang ditempel di dinding. Mulai dari yang mengutip hadist ”Allah itu indah dan menyukai keindahan”, ”Kebersihan sebagian dari iman”, atau sindiran halus, ” Alhamdulillah, ane tidak membuang sampah di sini. Semoga ini bisa menjadi catatan amal kebaikan di akhirat kelak”. Yang bernada sindiran dengan canda, ”Kepada akhi-akhi yang terhormat, bahwasanya di rumah ini tidak memiliki pembantu seorangpun. Barang siapa yang memakai gelas, piring dan panci sehabis makan mie harap segera dicuci. Tidak ada alasan menunda, sesibuk apapun anda. Ikhwan yang bersih dan rapi insya Allah akan mendapatkan akhwat yang bersih dan rapi. He..he...”. (kalo ini berdasarkan pengalaman di kontrakan).
Semoga tulisan-tulisan itu tidak hanya menjadi penghias dinding, tapi bisa sebagai pemacu semangat untuk terus memperhatikan kebersihan lingkungan tinggal kita. Karena biasanya, semangat tersebut hanya bertahan selama beberapa hari. Habis itu kembali ke keadaan semula. Kotor. Kumuh. Tulisan-tulisan tersebut? Ah.....udah ngga ngaruh tuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar