Ikhwan yang bersih dan rapi, ada nggak ya? Ah.....pastilah ada. Meskipun sampe saat ini aku belum
menemukannya di sekitarku. Seperti kata pepatah, di antara gelapnya malam, ada
bintang yang bergelayut di sana. Sepakat ora?
Terus terang, aku ingin meyakinkan diriku, bahwa seorang ikhwan adalah
orang yang yang senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian, baik itu kebersihan
diri maupun rumah tempat tinggalnya. Seorang ikhwan, adalah ia yang memahami
makna dari hadist, ”Allah itu indah dan menyukai keindahan”, ”Kebersihan
sebahgian dari iman”. But, so far this time, sampe saat ini nih aku
belum melihatnya.
Pendapat in terlontar karena dari
beberapa kost/kontrakan yang di dalamnya berisi ikhwan kondisinya jauh dari kata
bersih, kalo tidak bisa di sebut kumuh. Bukannya aku orang yang sok bersih, sok rapi de es be, lho. Suer. Hanya
saja memang begitu keadaannya. Di kontrakan ikhwan yang aku lihat, kaca berdebu
tebal sehingga bisa ditulisi nama penghuninya, sampah berupa kertas dan plastik
berserak di mana-mana. Di pojok kamar bertumpuk pakaian kotor yang menunggu
disentuh, belum lagi yang tergantung di gantungan baju, sehingga nyamuk-nyamuk
sangat senang mampir untuk beristirahat di situ kalo kecapean terbang. Di jemuran bergelantungan baju yang
beberapa hari tidak diangkat, kadang sampe kehujanan lagi. Ada yang merendam
baju sehari semalam terkadang lebih dan tidak sempat dicuci-cuci, sehingga
mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Di dapur, bisa dilihat tumpukan piring dan
gelas kotor entah udah berapa minggu ’merana’, menunggu dimandikan.
Sekali lagi aku menulis ini bukan karena merasa paling bersih dan rapi,
atau aku ingin menjelek-jelekkan ikhwan, karena aku pun ikhwan lho. Hanya aku
ingin mengingatkan kembali dan menyadarkan kita semua (bukankah kewajiban kita
untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, agar kita tidak merugi?)
bahwa kita mesti mulai belajar menata semua hal dari yang sederhana. Karena
dari hal yang kelihatannya sepele, bisa menimbulkan dampak yang besar. Kan akan
teramat sangat disayangkan, ketika ada obyek dakwah yang sedang kita dekati,
kemudian diajak main ke kontrakan dan menyaksikan keadaan yang seperti ’kapal
pecah’. Ia yang semula simpati terhadap kita akhirnya berkurang kesimpatiannya
setelah melihat itu semua. Timbul persepsi bahwa kita hanya NATO (not
action talk only).
Aku ngga tau, apakah ini terjadi
di kalangan ikhwan saja atau akhwat juga sama. But, kalo aku baca di majalah Karima
beberapa tahun lalu, kayaknya permasalahan ini juga ada di akhwat, meski
mungkin nggak separah di ikhwan. Cerita berjudul “Parade Kaos Kaki” itu
bercerita tentang keadaan yang terjadi di kontrakan para akhwat, di mana setiap
saat ada pemandangan yang kurang sedap dilihat. Bertumpuk kaos kaki di pojok ruangan,
karena sang empunya seolah tidak pernah mempedulikannya. Mungkin karena akhwat
itu punya banyak kaos kaki, sehingga setiap habis memakai langsung aja
dilemparkan begitu saja, dan berganti dengan yang lain. Untungnya masih ada
satu akhwat yang rela untuk mencucikannya. Tapi karena terlalu sering, ia takut
mengurangi keikhlasannya, sehingga dalam kultum subuh ia menyinggung tentang
hal ini. Dan untuk beberapa hari berikutnya keadaan menjadi lebih baik. Tidak
ada lagi kaos kaki yang teronggok di pojok ruangan. Sampe pada suatu ketika ada
rapat di ruangan tersebut dengan beberapa ikhwan, seorang ikhwan menegur,
karena ternyata ada lagi setumpuk kaos kaki di sana.
Ada lagi cerita dari temanku yang berkunjung
ke tempat kos adiknya yang akhwat di Banjarmasin.
Ia melihat kondisi yang mirip dengan
kost-kostan ikhwan. Berantakan. Temanku berkata “kamar akhwat kok kayak gini....”
Adiknya berkata ”Eh...ini masih mendingan. Ini udah yang paling bersih daripada
kamar yang lain ...”J
Adik temanku yang kebetulan berkunjung ke Jogja dititipkan ke kontrakan
akhwat. Ketika ditanyakan bagaimana keadaan di sana (gak tau bermaksud
investigasi atau apa), dijawab sama adiknya kalau kondisinya berantakan. Banyak
pakaian yang menumpuk, belum diseterika.
Jadi, kalo dilihat dari cerita-cerita tersebut kayaknya hal ini sudah ada
dimana-mana. (cerita parade kaos kaki di atas berlatar belakang di Kota
Semarang). Di Jogja, Semarang,
Banjarmasin, dan mungkin terjadi juga di kota lain. Atau mungkin karena satu
fikrah ya, sehingga dalam permasalahan kebersihan dan kerapian pun sama
masalahnya J
Aku yakin, teman-teman telah berusaha untuk melakukan perubahan, mulai dari
membuat jadwal piket sampai membuat tulisan yang ditempel di dinding. Mulai
dari yang mengutip hadist ”Allah itu indah dan menyukai keindahan”, ”Kebersihan
sebagian dari iman”, atau sindiran halus, ” Alhamdulillah, ane tidak membuang
sampah di sini. Semoga ini bisa menjadi catatan amal kebaikan di akhirat
kelak”. Yang bernada sindiran dengan canda, ”Kepada akhi-akhi yang terhormat,
bahwasanya di rumah ini tidak memiliki pembantu seorangpun. Barang siapa yang
memakai gelas, piring dan panci sehabis makan mie harap segera dicuci. Tidak
ada alasan menunda, sesibuk apapun anda. Ikhwan yang bersih dan rapi insya
Allah akan mendapatkan akhwat yang bersih dan rapi. He..he...”. (kalo ini
berdasarkan pengalaman di kontrakan).
Semoga tulisan-tulisan itu tidak hanya menjadi penghias dinding, tapi bisa
sebagai pemacu semangat untuk terus memperhatikan kebersihan lingkungan tinggal
kita. Karena biasanya, semangat tersebut hanya bertahan selama beberapa hari.
Habis itu kembali ke keadaan semula. Kotor. Kumuh. Tulisan-tulisan tersebut? Ah.....udah ngga ngaruh tuh.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar