Minggu, 09 September 2012

Akhwat kok ngga bisa masak...


“ Wah, payah ….akhwat-akhwat di kampus kita pada gak bisa masak”, komentar kawanku tiba-tiba saat melihat beberapa akhwat keluar dari al kautsar, salah satu di antara sekian banyak nama rumah makan yang sering dikunjungi oleh para akhwat. “Ah…kata siapa? Ente tahu darimana ? tanyaku pengen tahu. “Lha itu, aku sering mergokin akhwat-akhwat habis dari warung. Kalo sore hari mereka beli makannya di warung pecel lele. Berarti mereka kan gak pernah masak sendiri karena ngga bisa masak….”begitu penjelasan kawanku soal komentarnya tentang para akhwat. Aku sih ngga begitu sepakat dengan pendapat kawanku tadi, meski kadang perasaan itu muncul juga dalam pikiran. Aku berhusnudzan saja, kalau mereka tuh bukannya nggak bisa masak, tetapi memang karena waktu yang tidak memungkinkan untuk memasak. Waktu mereka sudah tersita untuk kuliah, ngaji, ngurusin dakwah di kampus dan juga di masyarakat, serta seabrek aktivitas lainnya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk memasak sendiri. So, cara yang praktis dan efisien ya dengan beli di warung.
Semoga para akhwat tidak menanggapi komentar ini dengan perasaan marah dan ngga terima. “enak saja ikhwan kalo ngasih komentar. Emangnya kalo kita sering terlihat beli di warung berarti kita gak bisa masak? Kalo gitu boleh dong kita berpendapat kalo ikhwan itu pada ringkih semua. Soalnya kita ngga pernah lihat ikhwan-ikhwan itu narik gerobak. Nah lho ….”
Maksud saya menuliskan ini hanya untuk ngasih tahu kalo di kalangan ikhwan memang ada pendapat seperti itu. Bahwasanya akhwat-akhwat sekarang ini banyak yang merupakan ‘anak mama’. Kalo di rumah tidak pernah membantu ibu memasak di dapur. Mungkin bisa diumpamakan kalo disuruh masak nasi, maka ada beberapa kemungkinan: nasinya gosong, masih terasa berasnya alias nggak matang, atau terlalu lembek kebanyakan air. Kalo diminta buat sayur, kadang asin, di lain waktu terlalu manis dsb. Semoga ini bisa dijadikan evaluasi oleh para akhwat. Kalo ngga benar, ngapain marah. Tapi, dari beberapa daurah yang pernah saya ikuti dan konsumsinya ditangani langsung oleh akhwat (masak sendiri), sepertinya apa yang dikatakan oleh kawan saya tadi memang benar. Jujur saya katakan ini tanpa bermaksud mengurangi rasa terima kasih dan salut atas pengorbanan para akhwat. Benar begitu kan, wan..? (maksudnye ikhwan)
Memasak, merupakan salah satu tugas rumah tangga yang tidak bisa dianggap sepele. Bagiku secara pribadi, kemampuan memasak menjadi satu ukuran telah siapnya seorang akhwat menjadi istri dan juga menunjukkan kesempurnaannya sebagai akhwat. Why? Mengapa?
Sekali lagi, menurut pendapatku secara pribadi nih, ada beberapa alasan:

Pertama, hidup berumah tangga, merupakan sebuah perjalanan panjang mengarungi samudera kehidupan yang tidak hanya berlangsung sehari dua hari, sebulan dua bulan, bahkan setahun dua tahun. Ia adalah pelayaran yang tanpa batas, selama usia masih ada dalam raga. Nah, tidak bisa selamanya para akhwat menggantungkan menu masakan hanya kepada khadimat(pembantu), atau beli di warung makan. Tidak semua suami mampu mencarikan khadimat untuk membantu pekerjaan istrinya di rumah. Juga, tidak selamanya khadimat akan berada di rumah kita. Terkadang, mereka juga butuh istirahat/cuti, biasanya saat libur lebaran. Sedangkan kalo beli di warung, selain menguras dana yang cukup besar kalo dilakukan setiap hari, juga kita akan cepat bosan dengan menu yang itu-itu saja.

Kedua, untuk menjaga izzah di hadapan ibu mertua, apalagi kalo sang Ibu jago masak. Paling nggak akhwat tersebut harus bisa masak gule, sate, kare ......juga buat bumbu tempe....serta sayur taoge...... sehingga tidak menjadi bahan sindiran sang Ibu. ”Lha nanti anakku mau dikasih makan apa? Jangan-jangan tiap hari cuman dibikinin mie doang. Bisa kena tiphus nanti...”. Dengan kemampuannya memasak, maka si akhwat pasti deh bakalan jadi menantu kesayangan dan kebanggaan ibu mertua.

Ketiga, seorang akhwat, betapapun aktifnya dia di organisasi, memegang amanah yang penting, selalu sukses dengan program-program yang direncanakan, akan kurang sempurna ’keakhwatan’nya manakala ia tidak bisa memasak. Kemampuan memasak merupakan kemampuan ’asasi’, satu hal yang mesti dimiliki calon ibu rumah tangga seperti akhwat. Dengan memasak, maka program keluarga sakinah mawaddah wa rahmah akan lebih mudah tercapai, karena sang suami – apalagi yang hobinya makan – pasti akan senang selalu berada di rumah kalo tidak ada tugas, sebab ada makanan buatan istrinya yang menggoda selera.

So, bagi para akhwat yang belum bisa memasak, masih ada waktu untuk belajar memasak. Mungkin tidak perlu ikutan kursus memasak. Cukuplah dibuat program lomba masak antar kos akhwat, atau saling berbagi resep, dan mencoba resep masakan baru. Dengan sering latihan, maka kemampuan memasaknya akan semakin terasah. Sepakat? harus donk......
Jogja, saat liat akhwat keluar dari warung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar