“
Wah, payah ….akhwat-akhwat di kampus kita pada gak bisa masak”, komentar
kawanku tiba-tiba saat melihat beberapa akhwat keluar dari al kautsar, salah
satu di antara sekian banyak nama rumah makan yang sering dikunjungi oleh para
akhwat. “Ah…kata siapa? Ente tahu darimana ? tanyaku pengen tahu. “Lha itu, aku
sering mergokin akhwat-akhwat habis dari warung. Kalo sore hari mereka beli
makannya di warung pecel lele. Berarti mereka kan gak pernah masak sendiri
karena ngga bisa masak….”begitu penjelasan kawanku soal komentarnya tentang
para akhwat. Aku sih ngga begitu sepakat dengan pendapat kawanku tadi, meski
kadang perasaan itu muncul juga dalam pikiran. Aku berhusnudzan saja, kalau
mereka tuh bukannya nggak bisa masak, tetapi memang karena waktu yang tidak memungkinkan
untuk memasak. Waktu mereka sudah tersita untuk kuliah, ngaji, ngurusin dakwah
di kampus dan juga di masyarakat, serta seabrek aktivitas lainnya, sehingga
tidak ada waktu lagi untuk memasak sendiri. So, cara yang praktis dan efisien
ya dengan beli di warung.
Semoga
para akhwat tidak menanggapi komentar ini dengan perasaan marah dan ngga
terima. “enak saja ikhwan kalo ngasih komentar. Emangnya kalo kita sering
terlihat beli di warung berarti kita gak bisa masak? Kalo gitu boleh dong kita
berpendapat kalo ikhwan itu pada ringkih semua. Soalnya kita ngga pernah lihat
ikhwan-ikhwan itu narik gerobak. Nah lho ….”
Maksud
saya menuliskan ini hanya untuk ngasih tahu kalo di kalangan ikhwan memang ada
pendapat seperti itu. Bahwasanya akhwat-akhwat sekarang ini banyak yang
merupakan ‘anak mama’. Kalo di rumah tidak pernah membantu ibu memasak di
dapur. Mungkin bisa diumpamakan kalo disuruh masak nasi, maka ada beberapa
kemungkinan: nasinya gosong, masih terasa berasnya alias nggak matang, atau
terlalu lembek kebanyakan air. Kalo diminta buat sayur, kadang asin, di lain
waktu terlalu manis dsb. Semoga ini bisa dijadikan evaluasi oleh para akhwat.
Kalo ngga benar, ngapain marah. Tapi, dari beberapa daurah yang pernah saya
ikuti dan konsumsinya ditangani langsung oleh akhwat (masak sendiri),
sepertinya apa yang dikatakan oleh kawan saya tadi memang benar. Jujur saya
katakan ini tanpa bermaksud mengurangi rasa terima kasih dan salut atas
pengorbanan para akhwat. Benar begitu kan, wan..?
(maksudnye
ikhwan)
(maksudnye
ikhwan)
Memasak,
merupakan salah satu tugas rumah tangga yang tidak bisa dianggap sepele. Bagiku
secara pribadi, kemampuan memasak menjadi satu ukuran telah siapnya seorang
akhwat menjadi istri dan juga menunjukkan kesempurnaannya sebagai akhwat. Why?
Mengapa?
Sekali
lagi, menurut pendapatku secara pribadi nih, ada beberapa alasan:
Pertama, hidup berumah tangga,
merupakan sebuah perjalanan panjang mengarungi samudera kehidupan yang tidak
hanya berlangsung sehari dua hari, sebulan dua bulan, bahkan setahun dua tahun.
Ia adalah pelayaran yang tanpa batas, selama usia masih ada dalam raga. Nah,
tidak bisa selamanya para akhwat menggantungkan menu masakan hanya kepada khadimat(pembantu), atau beli di warung
makan. Tidak semua suami mampu mencarikan khadimat untuk membantu pekerjaan
istrinya di rumah. Juga, tidak selamanya khadimat akan berada di rumah kita.
Terkadang, mereka juga butuh istirahat/cuti, biasanya saat libur lebaran.
Sedangkan kalo beli di warung, selain menguras dana yang cukup besar kalo
dilakukan setiap hari, juga kita akan cepat bosan dengan menu yang itu-itu
saja.
Kedua, untuk menjaga izzah di
hadapan ibu mertua, apalagi kalo sang Ibu jago masak. Paling nggak akhwat
tersebut harus bisa masak gule, sate, kare ......juga buat bumbu tempe....serta
sayur taoge......
sehingga tidak menjadi bahan sindiran sang Ibu. ”Lha nanti anakku mau dikasih makan apa? Jangan-jangan tiap hari cuman
dibikinin mie doang. Bisa kena tiphus nanti...”. Dengan kemampuannya
memasak, maka si akhwat pasti deh bakalan jadi menantu kesayangan dan
kebanggaan ibu mertua.
sehingga tidak menjadi bahan sindiran sang Ibu. ”Lha nanti anakku mau dikasih makan apa? Jangan-jangan tiap hari cuman
dibikinin mie doang. Bisa kena tiphus nanti...”. Dengan kemampuannya
memasak, maka si akhwat pasti deh bakalan jadi menantu kesayangan dan
kebanggaan ibu mertua.
Ketiga, seorang akhwat,
betapapun aktifnya dia di organisasi, memegang amanah yang penting, selalu
sukses dengan program-program yang direncanakan, akan kurang sempurna
’keakhwatan’nya manakala ia tidak bisa memasak. Kemampuan memasak merupakan
kemampuan ’asasi’, satu hal yang mesti dimiliki calon ibu rumah tangga seperti
akhwat. Dengan memasak, maka program keluarga sakinah mawaddah wa rahmah akan
lebih mudah tercapai, karena sang suami – apalagi yang hobinya makan – pasti
akan senang selalu berada di rumah kalo tidak ada tugas, sebab ada makanan
buatan istrinya yang menggoda selera.
So,
bagi para akhwat yang belum bisa memasak, masih ada waktu untuk belajar
memasak. Mungkin tidak perlu ikutan kursus memasak. Cukuplah dibuat program
lomba masak antar kos akhwat, atau saling berbagi resep, dan mencoba resep
masakan baru. Dengan sering latihan, maka kemampuan memasaknya akan semakin
terasah. Sepakat? harus donk......
Jogja, saat
liat akhwat keluar dari warung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar